Selasa, 09 Februari 2010

Aku dan Majikan

Dan aku bukanlah pemimpin mereka, para TKI, seperti anda harapkan. Aku hanya penyambung lidah karena aku punya Inggris berantakan yang aku banggakan. Dan kau mengerti wahai majikan. Aku dan mereka sama.

Dan aku dan mereka bukan kriminal yang harus dibatasi pagar pada saat anjak keluar. Kau bilang, apa aku bisa menjamin mereka tidak lari. Lalu aku bilang, apa kau bisa menjamin tidak turun hujan. Dan kau tidak mau mengerti wahai majikan. Aku dan mereka sama.

Dan aku kau tempatkan di kantor bukan lagi di mesin seperti mereka. Tapi sayang, yang ku dapat lebih kecil dari mereka karena di kantor aku hanya molor. Jadikan aku kuli lagi, pintaku pada kau wahai majikan. Aku dan mereka sama.

Dan aku kau jadikan mandor untuk menegur para kuli. Lalu kau jadikan aku lebih tinggi untuk menegur para bosnya kuli. Lalu kau tinggikan aku lagi untuk beradu kata dengan rekan-rekan kerja kau wahai majikan. tapi kenapa aku tetap merasa seperti kuli. Aku dan mereka masihlah sama.

Dan aku bosan. Sebab kerja dan yang ku dapat tidak pernah sepadan. Lima tahun sudah aku kau tahan. Lalu aku pulang ke kampung halaman. Biarlah aku menjadi kuli di sini. Karena, setahuku semua tidak pernah berubah wahai majikan. Aku dan mereka tetap sama.

Selasa, 29 Desember 2009

Penjara; Pembelajarankah?

Sepatutnya penjara adalah pembelajaran. Ia bukanlah hukuman apatah lagi penyiksaan. Ia adalah hadiah istimewa yang diberikan oleh para penguasa terhadap budak-budaknya. Ia merupakan proses pengenalan terhadap diri pribadi yang berlangsung dengan grafik zig-zag tak beraturan. Terkadang grafik itu naik setinggi-tingginya dan tak jarang pula ia turun serendah-rendahnya.

Pembelajaran yang dinanti dari penjara, tentu saja pembelajaran menuju ke mata angin yang lebih baik. Dari bejat menjadi Ustadz. Dari pembunuh menjadi guru. Dari koruptor menjadi motivator.

Kenapa orang dipenjara?

1.Karena kelainan jiwa.
   Orang seperti ini memiliki dunianya tersendiri. Mereka tidak akan paham segala sesuatu hal yang baik yang universal. Mereka tidak akan bisa menafsirkan perbedaan 'JAHAT' dan 'BAIK'. Sebahagian mereka memiliki kepribadian ganda. Tempat mereka bukan penjara tapi rumah sakit jiwa. Bila membahayakan, ikat saja. Bila tak kunjung sembuh, tembak mati kalau perlu. Proses pembelajaran yang ada di penjara bagi orang seperti ini tidak akan efektif (aku mengenal salah seorang diantara mereka).

2. Karena lingkungan dan pergaulan.
   Orang seperti ini menjadi jahat karena yang selalu mereka lihat sehari-hari adalah hal jahat. dan lingkungan keluarga juga mengerti tapi tidak mengerti bahwa itu adalah jahat hingga membiarkan anak-anak mereka masuk ke dalam perangkap jahat. Proses pembelajaran terhadap orang seperti ini di penjara bisa dilakukan walaupun ianya akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. ini disebabkan kata 'JAHAT' telah masuk ke dalam setiap pembuluh darahnya (aku mengenal salah seorang di antara mereka).

3.Karena keadaan/keterpaksaan.
   Orang seperti ini bukanlah orang jahat dalam artian sebenarnya. Mereka terpaksa menjadi jahat. Proses pembelajaran bagi mereka sangat mudah dilakukan bila memang ada niat. Mereka jahat dengan niat baik untuk dirinya dan orang-orang terdekatnya. Sayangnya, mereka mengerti tapi tidak mau mengerti bahwa yang mereka lakukan berdampak secara langsung ataupun tidak langsung pada orang lain terhadap JAHATnya mereka (aku mengenal salah seorang diantara mereka).

4. Karena ketidakbersalahan/fitnah.
   Orang seperti ini memang yang paling sial. Mereka tidak berbuat apa-apa tapi ada di penjara. Mereka adalah korban dari sistem hukum yang amburadul. Mereka tidak berhak ada di penjara. Hukum yang dipermainkan oleh orang-orang yang belajar hukum adalah penjahat sesungguhnya. Mereka tidak perlu belajar di penjara (aku juga mengenal salah seorang diantara mereka).

Di satu negri bernama Indonesia Raya, penjara sering dijadikan sarana mencari nafkah. Penjara di sini, hanya nyaman untuk orang berduit saja. Pembelajaran adalah isapan jempol belaka. Apakah aku mengada-ngada?

Tidak. Aku pernah berkunjung ke salah satu penjara yang penghuninya aku kenal salah satu di antaranya. Aku harus melewati beberapa pintu untuk menemui penghuni itu. Di setiap pintunya, aku harus membayar upeti pada orang yang menjaga. Di antaranya adalah para sipir penjara, bahkan aku juga harus membayar pada penghuni lainnya pada pintu pamungkas yakni pintu ke tujuh.

Lalu, dihamparkanlah tikar di depanku. Salah seorang penghuni bertanya padaku, "Nyari siapa? Biar aku panggilkan."
Betapa baiknya dia, pikirku, "Nyari Anu..." jawabku.
Dia berlalu dan beberapa saat kemudian si Anu pun muncul.

Satu jam pun berlalu. Aku pamit pada penghuni itu. Sebelum aku pulang, ku lihat wajahnya gelisah. Ekspresinya sedih dan bingung. Seperti hendak mengatakan sesuatu tapi ia tak sanggup.

Ku tanya dia, "Ada apa?"
Dia jawab, "Aku gak enak ngomongnya tapi kau tengoklah keadaan di sini."
Lalu ku tanya lagi, "Kenapa?"
Dia jawab, "Setelah kau pulang...kalau aku tidak memberikan uang pada penjaga sama kepala kamar sama yang ngasi tikar, aku pasti dipukuli. Aku gak tahan. Mereka akan menagihnya setelah kau keluar dari sini, kawan."
Mukanya memerah. Matanya berkaca-kaca.

"Jangan kau bersedih, kawan." kuselipkan empat lembar uang lima puluhribuan ke tangannya yang bergetar. Ku pastikan terlebih dahulu para penghuni tidak melihatnya.
Lalu dia bilang, "Makasih kawan. kirim salamku pada anak istriku di rumah."

Dimana proses pembelajaran menuju yang lebih baik itu?

Di negeri yang bernama Indonesia itu proses pembelajaran itu memakai logika terbalik. Logikanya seperti ini;
1. Kalau kau orang baik, setelah keluar kau akan jadi separuh jahat.
2. Kalau kau separuh jahat, setelah keluar kau akan jadi benar-benar jahat.
3. Kalau kau benar-benar jahat, setelah keluar kau akan semakin mahir dalam kejahatanmu
4. Kalau kau telah mahir dalam kejahatan, setelah keluar kau akan menjadi the Godfather/mafia.

Note:
Orang-orang yang ku kenal itu adalah:
# sepupu dan sahabat masa kecilku - TA, YI
# sepupu tua ku - BJ, IS
# kenalanku - EF
# anak dari sepupu tua ku -IY

Aku harap setelah keluar, mereka tidak memberlakukan logika terbalik dalam hidup mereka.

Aku harap masyarakat mengulurkan tangan mereka lebar-lebar untuk menggengam tangan-tangan mereka yang bergetar.

Dan Aku pun Meragu

Pada malam dan dinginnya yang merasuk ke dalam butiran sel darah merahku. Pada hidup yang tak jua ku paham mengapa. Pada esok yang akan segera berbisik lembut di telingaku atau mungkin menamparku.

Ku masih di sini menanti rutinitas bias yang bisu. Ku masih di sini menanti badai.

Seumpama paradigma menjadi norma, kita terjebak dalam batasan-batasan. Menghabisi imajinasi, terkungkung atas nama dimensi tempat dan waktu.

Dan dimensi-dimensi itupun berubah. Aku juga turut serta. Kemudian dimensi yang lama pun berlalu tanpa sempat ku pelajari terlebih dahulu. Atau mungkin telah ku pelajari, hanya saja aku terlupa untuk mengkais INTISARI.

Dan ia pun akan terulang menjadi De Ja Vu. terus menerus terjadi hingga masuk ke dalam pori lalu pembuluh. Semerta ia meresap ke dalam saluran arteri dan menghambur merata mengiringi jalannya darah hingga aku tak lagi menyadari; dimensi-dimensi itu TELAH BERUBAH.

KEPUTUSAN-KEPUTUSAN telah aku lekatkan dengan kuat dalam tiang-tiang sanggahan. Ketika sepoi-sepoi datang, dia menari dengan ejekan. Tidak peduli mereka benar atau tidak karena keputusan adalah keputusan.

Angin itu teramat gampang. Lalu BADAI pun datang.

Tali-tali pada tiang mulai berlepasan. Simpul-simpul itu musnah dan tiang pun melemah. Ragam keputusan yang ku jemur pada tiang, berserakan jatuh ke tanah. Terhampar begitu saja. Ia berubah menjadi puzzle. Sebahagian koyak meroyak dan yang lain terhoyong-hoyong di tampar badai.

Dan aku pun MERAGU.